Jakarta, Liputan Indonesia
--
Setara Institute for Democracy and Peace menilai
gugatan yang dilayangkan pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan yang
diduga melakukan pembakaran hutan, akan memperluas masalah dari fokus
pemadaman api saat ini. Bahkan Setara menilai gugatan tersebut bisa
merugikan ekonomi Indonesia secara lebih luas.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menyebut gugatan peradilan Pemerintah terhadap perusahaan yang bersalah dapat menjadi senjata makan tuan bagi ekonomi dalam negeri. Jumlah ekspor produk kelapa sawit dari Indonesia diprediksi dapat berkurang jika hal tersebut dilakukan.
"Kemenangan negara di pengadilan terhadap korporasi dapat menjadi senjata bagi Uni Eropa dan Jepang untuk membatasi impor minyak kelapa sawit. Devisa kita bisa menurun. Itu salah satu dilema yang sedang dihadapi negara," kata Bonar di kantornya, Minggu (1/11).
Saat ini, beberapa negara Uni Eropa dan Jepang diketahui telah membatasi impor produk kelapa sawit dari negara produsen. Pengurangan impor terjadi karena adanya penelitian yang menguak kekurangan produk-produk kelapa sawit.
Namun, pengurangan pembelian produk kelapa sawit saat ini belum berdampak signifikan bagi perekonomian Indonesia. Dampak besar baru muncul jika gugatan Pemerintah terhadap perusahaan yang bersalah dalam musibah kebakaran lahan marak dilakukan.
Untuk meminimalisir dampak akibat bencana asap dan kebakaran lahan, Pemerintah diminta segera mengadopsi prinsip internasional tentang standar etika bisnis yang terdapat dalam United Nations Global Compact (UNGC) dan United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGP).
Penerapan prinsip UNGC dan UNGP dalam sistem hukum di Indonesia dapat mencegah munculnya 'senjata makan tuan' dalam mengatasi bencana asap dan kebakaran lahan di masa depan.
"Sampai saat ini, Pemerintah lebih memilih mengadopsi kebijakan pemidanaan korporasi dibanding meyakinkan mereka untuk memenuhi tanggung jawab dari dampak pelanggaran HAM. Prinsip UNGP dan UNGC belum diadopsi dalam hukum Indonesia," ujar Bonar.
Sebagai informasi UNGC adalah sebuah panduan untuk mewujudkan bisnis yang memenuhi prinsip HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, dan anti korupsi. Prinsip tersebut telah diluncurkan oleh PBB sejak 1999 silam.
Sementara itu, UNGP merupakan referensi yang sudah disahkan Dewan HAM PBB untuk negara dan perusahaan agar mengintegrasikan penghormatan, perlindungan, dan pemulihan HAM dalam setiap bisnis.
Dalam UNGP, negara disebut wajib melindungi dan memenuhi HAM bagi rakyatnya. Pihak swasta pun disebut harus mengikuti peraturan yang berlaku atas prinsip tersebut.
Jika pelanggaran atas HAM terjadi, maka negara dapat menindak pihak swasta sesuai ketentuan prinsip UNGP tersebut.
Rugikan Citra Perusahaan
Sebelumnya pemerintah Singapura memperoleh rekomendasi untuk memboikot produk-produk yang dibuat oleh lima perusahaan asal Indonesia dari Singapore Environment Council (SEC), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbasis di Singapura.
Lima perusahaan tersebut adalah PT Asia Pulp And Paper (APP), PT Rimba Hutani Mas, PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, PT Bumi Sriwijaya Sentosa, dan PT Wachyuni Mandira.
Aniela Maria, Deputy Director Sustainability & Stakeholder Engagement APP menjelaskan sampai saat ini pemerintah Singapura tidak memboikot produk berbahan dasar kayu yang diekspor perusahaannya.
Menurut Aniela, pemerintah Singapura justru lebih banyak ingin mendapatkan informasi dari perusahaan mengenai kebakaran yang terjadi di konsesi hutan produksi miliknya berikut langkah penanganan yang sudah dilakukan perusahaan.
“Hal-hal seperti ini membuat image perusahaan dirugikan, karena simpang siur informasinya. Padahal tidak banyak yang tahu kalau sejak 2013 lalu, kami menerapkan kebijakan non deforestisasi untuk bahan baku produksi. Kalau ada pemasok kami yang membakar, akan kami putus kontraknya,” tegas Aniela. (cnnind)
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menyebut gugatan peradilan Pemerintah terhadap perusahaan yang bersalah dapat menjadi senjata makan tuan bagi ekonomi dalam negeri. Jumlah ekspor produk kelapa sawit dari Indonesia diprediksi dapat berkurang jika hal tersebut dilakukan.
"Kemenangan negara di pengadilan terhadap korporasi dapat menjadi senjata bagi Uni Eropa dan Jepang untuk membatasi impor minyak kelapa sawit. Devisa kita bisa menurun. Itu salah satu dilema yang sedang dihadapi negara," kata Bonar di kantornya, Minggu (1/11).
Saat ini, beberapa negara Uni Eropa dan Jepang diketahui telah membatasi impor produk kelapa sawit dari negara produsen. Pengurangan impor terjadi karena adanya penelitian yang menguak kekurangan produk-produk kelapa sawit.
Namun, pengurangan pembelian produk kelapa sawit saat ini belum berdampak signifikan bagi perekonomian Indonesia. Dampak besar baru muncul jika gugatan Pemerintah terhadap perusahaan yang bersalah dalam musibah kebakaran lahan marak dilakukan.
Untuk meminimalisir dampak akibat bencana asap dan kebakaran lahan, Pemerintah diminta segera mengadopsi prinsip internasional tentang standar etika bisnis yang terdapat dalam United Nations Global Compact (UNGC) dan United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGP).
Penerapan prinsip UNGC dan UNGP dalam sistem hukum di Indonesia dapat mencegah munculnya 'senjata makan tuan' dalam mengatasi bencana asap dan kebakaran lahan di masa depan.
"Sampai saat ini, Pemerintah lebih memilih mengadopsi kebijakan pemidanaan korporasi dibanding meyakinkan mereka untuk memenuhi tanggung jawab dari dampak pelanggaran HAM. Prinsip UNGP dan UNGC belum diadopsi dalam hukum Indonesia," ujar Bonar.
Sebagai informasi UNGC adalah sebuah panduan untuk mewujudkan bisnis yang memenuhi prinsip HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, dan anti korupsi. Prinsip tersebut telah diluncurkan oleh PBB sejak 1999 silam.
Sementara itu, UNGP merupakan referensi yang sudah disahkan Dewan HAM PBB untuk negara dan perusahaan agar mengintegrasikan penghormatan, perlindungan, dan pemulihan HAM dalam setiap bisnis.
Dalam UNGP, negara disebut wajib melindungi dan memenuhi HAM bagi rakyatnya. Pihak swasta pun disebut harus mengikuti peraturan yang berlaku atas prinsip tersebut.
Jika pelanggaran atas HAM terjadi, maka negara dapat menindak pihak swasta sesuai ketentuan prinsip UNGP tersebut.
Rugikan Citra Perusahaan
Sebelumnya pemerintah Singapura memperoleh rekomendasi untuk memboikot produk-produk yang dibuat oleh lima perusahaan asal Indonesia dari Singapore Environment Council (SEC), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbasis di Singapura.
Lima perusahaan tersebut adalah PT Asia Pulp And Paper (APP), PT Rimba Hutani Mas, PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, PT Bumi Sriwijaya Sentosa, dan PT Wachyuni Mandira.
Aniela Maria, Deputy Director Sustainability & Stakeholder Engagement APP menjelaskan sampai saat ini pemerintah Singapura tidak memboikot produk berbahan dasar kayu yang diekspor perusahaannya.
Menurut Aniela, pemerintah Singapura justru lebih banyak ingin mendapatkan informasi dari perusahaan mengenai kebakaran yang terjadi di konsesi hutan produksi miliknya berikut langkah penanganan yang sudah dilakukan perusahaan.
“Hal-hal seperti ini membuat image perusahaan dirugikan, karena simpang siur informasinya. Padahal tidak banyak yang tahu kalau sejak 2013 lalu, kami menerapkan kebijakan non deforestisasi untuk bahan baku produksi. Kalau ada pemasok kami yang membakar, akan kami putus kontraknya,” tegas Aniela. (cnnind)
Media Liputan Indonesia
DIATUR OLEH UNDANG - UNDANG PERS
No. 40 Thn. 1999 Tentang Pers
HAK JAWAB- HAK KOREKSI-HAK TOLAK
Kirim via:
WhatsApps / SMS:08170226556 / 08123636556
Email Redaksi:
NewsLiputanIndonesia@gmail.com
PT. LINDO SAHABAT MANDIRI
Tunduk & Patuh Pada UU PERS.
Komentar