Foto: Yusril di Polda Metro Jaya. ©2019 Merdeka.com |
Liputan Indonesia, - Beberapa waktu lalu, Profesor Yusril Ihza Mahendra mendatangi Polda Metro Jaya, dengan tujuan mengajukan permohonan atau menggugat Peraturan Menteri (Permen) No 17 tahun 2021.
Sebagai pengacara senior Yusril Ihza Mahendra mengajukan permohonan Judicial Review (JR) atau Hak Menguji Formil dan Materil serta kepada Mahkamah Agung (MA) untuk membatalkan larangan ekspor benih lobster. Larangan tersebut tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021 yang ditandatangani oleh Menteri Sakti Wahyu Trenggono tanggal 24 Mei 2021.
Menurut Yusril dengan adanya Permen nomor 17 tahun 2021 itu sangatlah merugikan nelayan dan bahkan memperburuk perekonomian dalam bidang hasil laut, bisa jadi peraturan itu hanya menguntungkan para pengusaha besar serta tidak menutup kemungkinan akan terjadinya monopoli ekonomi, tentunya bakal merugikan nasib ekonomi para nelayan benih lobster, serta akan timbul tidak adanya kepastian hukum.
Yusril mengajukan JR sebagai kuasa hukum PT Kreasi Bahari Mandiri dan beberapa petani kecil di Nusa Tenggara Barat (NTB). Uji materi itu lantaran sejumlah alasan. Pertama menurut Yusril, Menteri Kelautan dan Perikanan tidak berwenang melarang ekspor barang dan jasa, meskipun itu benih lobster. Kewenangan melarang ekspor ikan, termasuk benih lobster, sebelumnya memang menjadi kewenangan Menteri KP berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
"Tetapi dengan berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dikenal dengan sebutan Omnibus Law, kewenangan itu telah dicabut dan diambil alih langsung oleh Presiden," ujar Yusril dalam keterangannya, Selasa (19/10).
Hal yang sama sebelumnya juga telah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Presiden, telah mengatur sendiri barang dan jasa apa saja yang boleh diekspor dan diimpor melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2021 untuk melaksanakan Omnibus Law.
"Melalui PP Nomor 29 Tahun 2021 itu, Presiden Joko Widodo mendelegasikan kewenangannya kepada Menteri Perdagangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai jenis-jenis barang dan jasa yang boleh diekspor dan diimpor," katanya.
Di luar Kewenangan
Dengan aturan ini, menurutnya Menteri KKP telah bertindak di luar kewenangannya membuat peraturan yang melarang ekspor benih lobster. Tindakan di luar kewenangan seperti itu, kata Yusril akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Selain masalah kewenangan, Yusril juga mendalilkan bahwa larangan ekspor benih lobster itu bertentangan dengan dengan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya serta UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Menteri KKP, kata Yusril seharusnya lebih dulu menyatakan bahwa lobster adalah binatang langka atau jenis binatang yang dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990.
"Atas pertimbangan lobster adalah hewan langka yang dilindungi, baru dapat dilakukan pelarangan ekspor," tekannya.
Namun kenyataannya dalam Peraturan Menteri KKP sampai yang terakhir diterbitkan, yakni Permen KKP Nomor 1 Tahun 2021 yang menyebutkan adanya 19 jenis ikan yang dilindungi, ternyata tidak memasukkan lobster sebagai binatang langka atau terancam punah yang dilindungi oleh negara. Menurutnya, dari sana jelas bahwa larangan ekspor benih lobster ini adalah aturan yang mengada-ada.
"Kebijakan Menteri KKP itu juga telah membuat pengusaha perikanan dan nelayan kecil terombang ambing. Mereka telah melakukan investasi dan mengurus izin penangkapan, penangkaran dan ekspor benih lobster dengan biaya tidak sedikit," ujar Yusril.
"Mereka juga telah melakukan perjanjian ekspor dengan mitra-dagang di luar negeri, yang akhirnya gagal untuk dilaksanakan. Segala jerih payah itu tiba-tiba dilarang tanpa adanya aturan peralihan untuk mengatasi kerugian pengusaha dan nelayan kecil," sambungnya.
Singgung Pencitraan
Yusril mengatakan, larangan ekspor benih lobster lebih banyak masalah pencitraan Menteri KKP sejak Susi Pudjiastuti sampai Sakti Wahyu Trenggono. Menteri Susi berdalih, benih lobster jangan diekspor tetapi lebih baik dibudidayakan di dalam negeri agar mempunyai nilai tambah. Namun, kata dia, kebijakan Pemerintah tentang budidaya lobster sampai sekarang tidak pernah jelas.
"Berdasarkan data Komisi Pengkajian Stok Ikan (Kajiskan) Kementerian Kelautan dan Perikanan diketahui bahwa untuk tahun 2021, jumlah benih lobster yang ada di alam bebas adalah 278,3 miliar ekor. Menurut perhitungan ahli, jika bibit sebanyak itu semuanya digunakan untuk budidaya, maka hasil lobster siap konsumsi di tahun 2021 ini adalah 92,76 juta ekor lobster siap konsumsi atau setara dengan 19.479 ton lobster," papar dia.
Namun kenyataannya, Kementerian KKP hanya menargetkan hasil budidaya dalam negeri sebanyak 2.396 ton untuk tahun 2021 ini. Padahal untuk menghasilkan jumlah 2.396 ton lobster konsumsi itu hanya diperlukan bibit benih lobster sebanyak 34.228.572 bibit bening saja atau hanya sekitar 15 persen dari bibit yang tersedia. Sisanya sebanyak 244,039,717 miliar ekor bibit atau sekitar 85 persen dibiarkan hidup di alam bebas dan sudah dapat dipastikan sebagian besar menjadi mangsa predator.
Sebab itu, menurut Yusril, dia dan para ahli perikanan heran dengan kebijakan mubazir Menteri KKP. Menteri melarang ekspor benih lobster dan membiarkannya musnah dimakan predator. Sementara ekspor benih lobster punya nilai jual yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan devisa negara.
"Kalau mimpinya negara kita menjadi eksportir lobster terbesar di dunia, seharusnya Pemerintah melarang ekspor secara bertahap sesuai kemampuan daya tampung budidaya dalam negeri," tegas dia.
Akibat kebijakan larangan ekspor benih lobster yang dianggapnya asal-asalan, maka di zaman Susi Pudjiastuti bisnis ekspor benih lobster mengalami stagnasi. Budidaya dalam negeri juga tidak berkembang.
"Di zaman Edhy Prabowo yang membolehkan ekspor dengan izin dan prosedur berbelit-belit, terjadilah tindak pidana korupsi. Menteri Edhy dan beberapa pejabat KKP ditangkapi oleh KPK. Kini, di bawah Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono, penyelundupan benih marak lagi. Budidaya dalam negeri tetap tidak jelas," ujar Yusril.
Yusril melihat Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono tampaknya hanya berkeinginan memulihkan citra Kementerian KKP yang hancur akibat Menteri KKP sebelumnya ditangkap KPK. Di mana tiba-tiba dia mencabut izin ekspor benih lobster, sementara kewenangan melarang tidak ada lagi padanya karena sudah dicabut oleh Omnibus Law dan peraturan pelaksananya. Pelarangan itu, menurut dia bukan hanya tiba-tiba, tetapi juga tanpa aturan peralihan.
"Akhirnya yang menderita kerugian di tengah pandemi adalah para eksportir benih dan nelayan kecil di desa-desa. Pencitraan ternyata sangat mahal dan tega-teganya mengorbankan rakyat sendiri," pungkasnya.
Larangan Menteri Trenggono, Tapi Oknum Pemerintah Bermain
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono menegaskan akan melarang ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur. Komoditas laut tersebut hanya boleh dibudidayakan hingga ukuran konsumsi baru kemudian bisa diekspor.
"Benur sudah pasti saya akan melarang ekspor benih. Kenapa? karena benur itu adalah kekayaan daripada bangsa ini kekayaan dari bangsa Indonesia. Dia (benur) hanya boleh dibudidaya sampai kemudian ukuran konsumsi,” kata Menteri Trenggono dilansir dari twitter resminya @saktitrenggono, Minggu (28/2).
Jika Benih Bening Lobster (BBL) yang dijual atau diekspor, maka yang diuntungkan adalah negara yang membeli. Lantaran, jika benur tersebut ditahan satu tahun saja hingga layak konsumsi maka negara tersebut akan mendapatkan keuntungan hingga ratusan persen.
"Karena nilai tambahnya itu adalah diukuran konsumsi, kalau BBL (Benih Bening Lobster) yang dijual misalnya tidak tahu harganya berapa. Itu yang kaya negara yang membeli, karena dia tahan satu saja dia sudah bisa mendapatkan angka yang berpuluh-puluh atau beratus-ratus persen kenaikannya," katanya.
Dia menegaskan dalam mengutamakan keberlanjutan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Penghentian ekspor benur menjadi langkah awalnya dalam menjalankan visi tersebut. Selain itu, KKP juga akan meminta bantuan Kapolri untuk mencegah terjadinya ekspor benur.
"Sekarang di zaman saya ini, saya katakan sudah di hold, akibat dari case itu. Tapi saya nyatakan di depan anda semua bahwa itu pasti akan saya berhentikan. Dan itu kita akan meminta bantuan kepada Kapolri untuk selalu mencegah soal benur, yang boleh kita lakukan adalah untuk budidaya," tegasnya.
Sumber: Liputan6.com
Media Liputan Indonesia
DIATUR OLEH UNDANG - UNDANG PERS
No. 40 Thn. 1999 Tentang Pers
HAK JAWAB- HAK KOREKSI-HAK TOLAK
Kirim via:
WhatsApps / SMS:08170226556 / 08123636556
Email Redaksi:
NewsLiputanIndonesia@gmail.com
PT. LINDO SAHABAT MANDIRI
Tunduk & Patuh Pada UU PERS.
Komentar